Manufaktur AS-China-ASEAN Macet Berjamaah, Siapa Paling Parah?

Jakarta, CNBC Indonesia – Aktivitas manufaktur global belum berjalan searah. Sebagian negara masih melandai bahkan kontraksi tetapi sebagian lainnya sudah membaik.  Kondisi ini tercermin dari data aktivitas manufaktur Purchasing Manager Index (PMI) per Desember 2023.

PMI manufaktur sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan beberapa negara ASEAN masih melemah. Sebaliknya,  Indonesia dan Singapura sudah menggeliat.

Secara keseluruhan, S&P mencatat PMI Manufaktur global melemah ke 49 pada Desember 2023, dari 49,3 pada November. Artinya, PMI Manufaktur global dalam tahap kontraksi.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi

Rendahnya data PMI manufaktur menunjukkan bahwa suatu negara relatif belum mampu untuk melakukan ekspansi usaha/bisnisnya karena melemahnya permintaan ekspor maupun domestik. Kondisi ini dipengaruhi banyak hal, mulai dari belum pulihnya perekonomian global hingga tingginya suku bunga acuan oleh bank sentral di berbagai negara.

Alhasil, negara-negara di dunia cenderung memilih untuk bertahan terlebih dahulu hingga akhirnya terjadi perlambatan aktivitas manufaktur termasuk produsen dalam memproduksi berbagai barang akibat permintaan yang rendah.

Dilansir dari S&P Global per Desember 2023, dua raksasa ekonomi, Amerika Serikat (AS) dan Jepang mengalami kontraksi dengan nilai PMI manufaktur berada di bawah 50 tepatnya 47,9.

PMI manufaktur AS bahkan lebih rendah dibandingkan periode November di angka 49,4. Output kembali melandai dan penurunan pesanan baru semakin cepat, mencerminkan lemahnya kondisi permintaan domestik dan eksternal, dengan perusahaan-perusahaan menyesuaikan aktivitas pembelian dan perekrutan input mereka.

Tanda-tanda peningkatan kapasitas cadangan terlihat melalui penurunan simpanan dan destocking yang lebih cepat, dan perusahaan-perusahaan juga berupaya mengelola arus kas dengan lebih baik.

Sementara itu, tekanan inflasi meningkat karena beban biaya meningkat tajam, yang disebabkan oleh harga logam dan plastik dari pemasok, serta kenaikan biaya transportasi.

Selain itu, harga jual meningkat pada tingkat tercepat sejak bulan April dan melemahnya permintaan klien menyebabkan penurunan lapangan kerja untuk ketiga kalinya secara berturut-turut.

Sedangkan PMI manufaktur Jepang juga masih dalam kategori kontraksi. Data menunjukkan PMI Manufaktur au Jibun Bank Jepang berada di posisi 47,9 pada Desember 2023 atau lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yakni di angka 48,3.

Hal ini menunjukkan kontraksi aktivitas pabrik selama tujuh bulan berturut-turut dan laju terdalam sejak bulan Februari, karena ketidakpastian pasar membebani pesanan baru, yang kemudian menyebabkan penurunan output lagi.

Selain itu, penjualan luar negeri mengalami penyusutan terbesar dalam enam bulan terakhir karena menurunnya pesanan dari pasar ekspor utama seperti China, Eropa, dan Amerika Utara.

Sedikit berbeda dengan China, PMI Manufaktur Umum Caixin China naik tipis menjadi 50,8 pada  Desember 2023 dari 50,7 pada November, mengalahkan perkiraan pasar sebesar 50,4 dan menunjukkan angka tertinggi sejak Agustus.

Aktivitas pembelian mengalami stagnasi, sementara kinerja rantai pasokan memburuk karena kekurangan bahan baku dan terbatasnya kapasitas pemasok.

Data harga menunjukkan bahwa tekanan biaya masih terkendali, dengan biaya input naik sedikit ke level terendah dalam empat bulan. Pada saat yang sama, biaya produksi hanya meningkat sedikit, karena perusahaan enggan membebankan biaya yang lebih tinggi kepada klien di tengah persaingan pasar yang semakin ketat.

Sementara untuk versi NBS, PMI manufaktur China masih dalam kategori kontraksi yang secara tak terduga turun menjadi 49,0 pada bulan Desember 2023 dari 49,4 pada bulan sebelumnya, meleset dari perkiraan pasar sebesar 49,5.

Hal ini disebabkan oleh lemahnya pemulihan akibat pelemahan properti, risiko deflasi, dan meningkatnya tantangan global.

Kendati berbagai negara berada dalam kontraksinya, namun PMI manufaktur Indonesia justru menunjukkan tanda-tanda ekspansif. Per Desember 2023, PMI manufaktur Indonesia tercatat sebesar 52,2. PMI lebih tinggi dibandingkan November yang tercatat 51,7.

Ini merupakan ekspansi aktivitas pabrik selama 28 bulan berturut-turut dan merupakan laju terkuat sejak bulan September, karena pertumbuhan produksi mencapai puncaknya dalam empat bulan dan pesanan baru meningkat terbesar sejak bulan September.

PMI Manufaktur ASEAN

Terpantau PMI manufaktur ASEAN juga mengalami kontraksi yakni di angka 49,7 pada Desember 2023. PMI Manufaktur di Indonesia, Vietnam, dan Singapura

S&P

Data yang mendasari menunjukkan bahwa empat dari tujuh negara-negara ASEAN yang dipantau mencatat melemah kondisi manufaktur. Myanmar ditempatkan di terbawah tabel peringkat pada bulan Desember, dan mencatat penurunan paling parah. Indeks PMI Myanmar merosot ke level terendah satu tahun di 42,9 pada bulan Desember.

PMI ASEAN merosot akibat permintaan di pasar luar negeri yang melemah diikuti dengan bisnis ekspor yang juga sedang menurun pada Desember 2023.

Ekonom S&P Global Market, Maryam Baluch mengungkapkan bahwa tingkat kontraksi yang terjadi di ASEAN dalam pekerjaan baru tidak terlalu besar, namun demikian paling menonjol dalam hampir dua setengah tahun.

Namun, dalam beberapa hal positif, perusahaan berupaya meningkatkan jumlah staf mereka dan aktivitas pembelian, meskipun hanya sedikit dalam setiap kasus.

“Sementara kemerosotan yang terjadi baru-baru ini di ASEAN sektor manufaktur secara keseluruhan hanya sedikit, dan menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan lemahnya permintaan dapat mengakibatkan pemotongan baru produksi saat kita memasuki tahun 2024. Produsen di seluruh wilayah ini akan mengharapkan perluasan pesanan baru membantu mendukung pertumbuhan di tahun mendatang.” papar Maryam. https://merujaksore.com/

S&P

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*